Cerpen : lingkungan
Singkirkan pria limbah itu
Slaaapp !!! oh no..
“Mati lampu…oh ! menyebalkan,” Desahku
ketika pengumuman pemenang lomba di sekolah kami.
“Oh…anak-anak, ibu rasa kita lupa bayar
bulanan pada PLN..jadi pengumuman lomba ini kita undur dulu yah setelah urusan
dengan si tuan listrik ! selesai… daahh !!!” Seorang guru mengumumkan dengan
romantisnya.
Pagi ini bukanlah pagi pertama untuk
berangkat ke sekolah bagi kami, penduduk pedalaman yang teramat sangat dalam.
Tetapi pagi ini merupakan pagi yang teramat spesial untuk kami semua dan
kamipun berbaris untuk berangkat kesekolah tercinta. Menjemput sinar mentari
satu persatu, Menyanyikan lagu Kasih Ibu,
lagu yang sejak kami dalam kandungan selalu dinyanyikan dan kami akan
menemui buku-buku lusuh tempat kami mengukir cita-cita kami disana.
“Okay, everybody…let’s song kasih ibu,” Seseorang berteriak dengan
lantang.
“Yeaaahhh…. “ Sambut kami semua.
“Kasih
ibu… kepada beta tak terhingga sepanjang masa,” Mulai ku perlahan.
“Hanya
memberi… tak harap kembali ,” Lanjut kawanku yang lain.
“Bagai
sang surya menyinari dunia,” Kami pun serentak.
Yeeeeee !!!! bruuuaakkk !!!
“uuuhhh… “ sebuah suara terdengar
beriringan dengan sorak kami.
“Ahahaha…” Kamipun tertawa dengan
lepasnya ketika melihat si gendut Robi menabrak poho pisang milik pak RT.
“Makanya jangan terlalu bersemangat rob…
tuh jatuhkan, udh tau naik sepeda masih berani lepas tangan dua…haha…” salah
satu dari teman ku pun menolongnya.
Selang beberapa detik kemudian.
“Hey.... kalian anak-anak nakal !!! apa
yang kalian lakukan pada pohon saya !!!” Tiba-tiba suara besar datang dari
belakang kami.
“Anu pak… anu… itu.. anu… KABUUUURRR !!!
ayo rob..naik cepat !!” Ucapku pada orang yang tak lain adalah pak RT.
“Heeeiiii…. Hhh dasar bocah-bocah !!
ooh…lihatlah pohon pisang ini !” samar-samar ucapan pak RT itu.
Sepeda kami mengayuh dengan amat cepat,
nafas kami satu persatu lepas, ngos-ngosan… meninggalkan pohon-pohon yang berlarian.
Semakin menjauh, menembus jalan-jalan setapak didesa kami yang dilumuri tanah
liat… paman-paman kami yang berangkat untuk mencari getah karet pun atau sering
kali kami menyebutnya dengan memantat,
tersenyum ramah pada kami semua.
“hei, nina…apa kabar ibumu…” Sapa seorang
paman padakau.
“masih belum nikah paman!!!! Hahha…”
Jawab ku sekenanya.
Usai perjalanan yang begitu melelahkan,
akhirnya kamipun sampai disekolah kami. Atap rumbia menjadi pemandangan yang
khas dihiasi pula dengan dinding-dinding bolong seadanya sumbangan dari pabrik
tekstil yang entah berasal darimana. Setahu kami semenjak berdirinya pabrik itu
sungai kami yang dulu jernih sekarang menjadi berwarna coklat-kehitaman dan
sungai kami yang dulunya asri dan teduh itupun kini menjadi bau dan pohon-pohon
pun banyak yang mati padahal dulu sebelum adanya pabrik itu ekosistem alam kami
masih terjaga dan hal yang sangat aku ingat adalah dulu aku pernah diajak paman
Tomi untuk memancing disana, teman-teman ku yang lain begitu juga. Kamipun
dengan gembiranya berenang dan menangkap ikan disungai itu. Tetapi semenjak
adanya pabrik itu kamipun dilarang untuk bermain didekat sungai apalagi sampai
berenang disana.
Guruku pernah bilang kalau disana ada
limbah yang akan membuat kami sakit atau bahkan mati bila kami meminum dan
menghirupnya. Desa kami tak bisa membantah apapun karena orang tua kamipun
bekerja pada orang-orang berjas dipabrik itu. Apapun yang kami protes cukup
kami simpan didalam hati kami, karena kami sadar kami adalah kaum papa yang
bisanya hanya menjilati kaki si penjajah yang tak tahu menahu asal muasal nya.
“Tak usah protes sayang… asalkan kita
masih bisa menikmati air bersih ini, kita tidak akan sakit.. maka kamu harus
bersyukur,” Itulah jawaban ibu ketika aku mengutarakan rasa protes ku.
“sshh… ibu sama saja ! seperti pria
limbah itu…” Balasku kesal.
Entah mengapa pagi ini begitu berbeda,
mungkin karena katanya ada Dinas Pendidikan yang akan datang kesini. Aku
berharap semoga mereka akan menangkap pria limbah dengan jasnya itu. Jika
mereka melawan maka aku yang akan angkat bicara, aku akan mengadukan semua
perbuatan mereka pada bapak Dinas dan aku akan memperlihatkan keadaan sungai
kami yang dulu banyak kura-kura, ikan dan tumbuh-tumbuhan kini menjadi sunyi
dan bau. Tak ada canda tawa lagi dan kini sungai itu menjadi sungai paling
mengerikan diseluruh dunia. Sehingga, orang tuapun banyak memunculkan
mitos-mitos tak berguna yang ditakuti semua anak-anak didesa lalu merekapun
akan menutup pintu rapat-rapat dan naik keatas pulau kapuk selang beberapa saat
merekapun akan terbang keluar dunia. Tersenyum.
“Bu guru… bapak Dinasnya kok ! belum
ada… Tuti dari tadi nungguin gak muncul-muncul, apa bapak Dinas pake jas kaya
pria limbah bu..? atau mereka menggunakan pakaian berwarna pink ?” Mulut polos
temanku bertanya.
“Sebentar lagi sayang… nah itu dia bapak
Dinasnya !!!” Jawab bu Sinta seraya menunjuk kearah mobil yang tertuliskan
“Dinas Pendidikan dan Olah raga” sangat mengkilap.
“Waw…!!!” lirihku kagum.
Bapak Dinas itu, perlahan turun dari
mobil.
“Good Morning….” Teriaknya.
“MORNING !!!!” Sahut kami dengan
serentak.
Orang itupun memperkenalkan namanya, ia
adalah pak Hendar. Nama yang bagus. Ia kemudian membicarakan tentang
kebersihan, pentingnya menanam pohon, serta penjelasan-penjelasan lain yang
tentunya merupakan pengetahuan baru unutk kami dan kami pun dengan senang hati
akan menerimanya. Selang beberapa saat, aku kemudian teringat akan pria limbah.
Kemudian aku mengangkat tangan.
“Nah, adek kecil kita yang manis ini….
Apakah ingin bertanya sesuatu ?” Tunjuk kakak-kakak itu kepadaku. Seperti artis
bintang atas yang sering kutonton ditelevisi, semua mata tertuju padaku.
“Emm… anu kak ! aku ingin tanya kalo
pabrik yang membuang limbah disungai itukan berbahaya kak.. lagipula kata ibu
guru pabrik itu akan membuat ekosistem sungai menjadi musnah, tak ada kura-kura
dan tak ada ikan juga pohon-pohon ikut mati… soalnya disungai itu bau sekali.
Melihat hal seperti itu, apakah pemerintah akan menanggulanginya dan menangkap
pria limbah ?” Aku berkata dengan bangga.
“Pria limbah ? siapa itu ?”
Kakak-kakak itu malah balik bertanya padaku.
“Paman yang memiliki pabrik dan tiap
harinya menghasilkan limbah kak…” Jawabku dengan tersenyum.
“Oh… tentu saja ! pemerintah tidak
akan tinggal diam sayang… lagi pula bapak Dinas kan sudah melarang pembuangan
limbah pabrik kedalam sungai.”
“Tapi kak, pabrik yang ada
diseberang sungai itu telah membuangnya limbahnya kesungai dan kamipun tidak
diperbolehkan lagi bermain disitu.. kata ibu guru disungai itu ada zat kimia
yang sangat berbahaya !” Aku mulai protes.
“Adek kecil.. kau tak berguraukan ?”
Ucap kakak itu dengan pandangan curiga.
“Tidak ! kalo kakak mau… kakak bisa
lihat sendiri diseberang sungai yang bau dan angker itu,” Jawabku seraya
menunjuk kearah sungai yang menjadi legenda di desa kami.
“Hal itu akan kakak bicarakan pada
bapak Dinas nanti,” Ucapnya tegas.
Aku yakin sekali pria limbah itu akan
segera terusir dari desa ini dan aku selalu berdo’a semoga aku dan teman-teman
bisa merebut kembali tempat bermain kami. Kura-kura akan banyak lagi. Angin
berhembus sepoi meniup rambutku yang hitam dan lebat. Aku bangga mempunyai desa
yang teduh dan nyaman ini, tapi kebanggaan telah direbut oleh pria limbah itu.
Aku benci.
“Kali ini kakak.. mau ngajak kalian ikut
lomba go green !!! semuanya maukan ?”
“MAU !!!!!” Sorak kami gembira.
Lomba go green ini begitu membuat kami
terkesan, karena lomba ini mengajarkan kami tentang kekompakan, saling tolong,
kebersamaan, kebersihan, dan yang paling penting adalah kehijauan. Kami dilatih
untuk menanam pohon didalam pot, yang kami buat dari kaleng biskuit dan
barang-barang bekas yang kami daur ulang. Begitulah seterusnya hingga akhirnya
kami selesai dengan karya kami dan susah payah kami. Kakak-kakak itu dan bapak
Dinas berdiskusi untuk menentukan siapa yang berhak menang. Pembacaan pemenang
pun dimulai dari juara terkecil terlebih dahulu hingga saatnya pembacaan juara
pertama tiba-tiba lampu mati dan desa pun menjadi sangat gelap akhirnya
pembacaan juara satu itu dibatalkan terlebih dahulu.
“Oh… anak-anak !! maaf ya.. sebelumnya
karena pembacaan juara satu pada sore hari dibatalkan terlebih dahulu karena
tadi berhubung mati lampu… tapi tenang anak-anak tanpa lampu pun ibu bisa
berbicara dengan kalian ! bahwa juara satu dalam lomba go green ini adalah
kelas XI dari kelompok Nina !!!!” Beliau pun akhirnya memberitahukan kepada
kami tentang juara itu.
“Horeeee !!!!” Sorak kelompokku pun
menggema. Aku bahagia hari itu, bukan karena menang lomba go green. Akan
tetapi, aku bangga bisa mengetahui sedikit rahasia dari alam-alamku. Aku bangga
bisa melihat mereka bahkan aku lebih bangga saat mengetahui bagaimana cara
merawat dan melestarikan mereka.
Hari ini dan seterusnya aku akan terus
berharap kepada pemerintah supaya menangkap pria limbah itu. Karena dia telah
merusak benda-benda tidak bersalah didalam desa ini.
“Pria limbah…. Tunggu saat nanti aku
yang akan menangkapmu dengan tanganku sendiri,” Janjiku dalam hati.
The end
kami menerima jasa pemasangan iklan untuk memaksimalkan blog anda,,,,
BalasHapusharga mulai 50 ribu/ bulan